Open Government vs Government 2.0

taken from flickr

Hingga saat ini tercatat 11 negara yang telah mendeklarasikan komitmen pada open government dan meluncurkan proyek Open Government mereka masing masing. Negara negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru, Kanada, Denmark, Spanyol, Norwegia, Yunani, Finlandia dan Estonia. Open Government bermula di Amerika Serikat sejak terpilihnya Obama sebagai Presiden AS yang mengemban tugas berat membawa Amerika keluar dari krisis ekonomi pasca perang.

Teknologi informasi yang mengantarkannya menjadi Presiden AS terpilih dipandang tidak hanya mampu membantu Amerika keluar dari krisis tapi juga memungkinkan pergeseran paradigma pemerintahan AS ke arah unprecedented level of openness in Government yang dituangkan dalam Open Government Initiative.

Dengan keterbukaan informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya Obama bertekad membentuk sebuah pemerintahan yang lebih transparan, partisipatif dan kolaboratif. Transparansi pemerintah dengan menyediakan informasi publik akan membuka selebar lebarnya pintu partisipasi warganya untuk dapat berkolaborasi baik antar warga, dunia bisnis dan pemerintah dalam memecahkan masalah. Semua itu dimungkinkan hanya dengan mendayagunakan teknologi Web 2.0.

Sebenarnya diskusi tentang bagaimana teknologi web 2.0 didayagunakan telah lebih dulu bergulir. Namun Obama memberikan success story yang mencengangkan. Kemudian penemu Web 2.0 menciptakan label baru: “Government 2.0″ untuk menggambarkan bagaimana pemerintah masa depan menggunakan teknologi 2.0. Diskusi tentang government 2.0 melahirkan definisi yang beragam, namun definisi yang paling luas dipakai adalah definisi dari sang penemu: “government as a platform“.

Ketika CIO Amerika meluncurkan Data.gov, para penggiat gerakan government 2.0 menyambut positif dan berpikir bahwa ini adalah bentuk adopsi dari ide government as a platform pada Open Government. Maka pada Gov 2.0 Summit yang pertama tahun 2009 CTO dan CIO AS diundang sebagai pembicara untuk menjelaskan Data.gov lebih jauh.

Data.gov kemudian ditiru oleh negara negara lain sebagai model dari inisiatif Open Government mereka. Inggris meluncurkan data.gov.uk, Australia meluncurkan data.australia.gov.au, Selandia Baru meluncurkan data.govt.nz, Norwegia meluncurkan data.norge.no dan beberapa negara lain yang sedang mempersiapkan program Open Government mereka.

Dari paparan diatas bisa dilihat bahwa inisiatif open government bersifat top-down. Dideklarasikan oleh pemerintahnya, dilembagakan lalu diberi legal framework. Sementara gerakan government 2.0 menggunakan pendekatan bottom-up. Inisiatif tidak harus dari Pemerintah Pusat tapi bisa dari pemda / dewan kota / suku dinas dan bahkan dari masyarakat. Contoh di Kanada, belum ada satu situs terpusat semacam data.gov untuk pemerintahan pusat Kanada, tapi dimulai dari dewan kota dan lembaga seperti: data.edmonton.ca, mississauga.ca/data, nanaimo.ca/datafeeds, openparliament.ca, nanaimo.ca/datafeeds, toronto.ca/open dan data.vancouver.ca.

Bahkan di Jerman masyarakatnya lebih suka menggunakan istilah “government 2.0″ ketimbang “open government sebagai label pergerakan. Kemudian di Swedia inisiatif bahkan datang dari warga biasa yang meluncurkan opengov.se yang kemudian menarik perhatian pemerintahnya dan badan legislatif negaranya untuk meminta nasihat bagaimana melakukan transisi menuju open government.

Bisa diperhatikan bahwa penggunaan istilah open government dan government 2.0 sering tertukar jika kita melakukan dikotomi top-down dan bottom-up seperti yang dilakukan oleh Gartner. Menurut saya pendekatan yang ideal adalah dengan dua pendekatan sekaligus, entah dia membawa label open government ataupun government 2.0 menjadi tidak penting. Terlebih lagi untuk kondisi Indonesia yang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Sebelum kami masuk ke pembahasan tentang pendekatan yang sesuai untuk Indonesia mungkin jika ada masukan dan ide bisa langsung disampaikan disini.

Obama dan gerakan Government 2.0

Apa yang Indonesia dapatkan dari kedatangan Obama kemarin? Kesepakatan Kerjasama Komprehensif? Kenapa komprehensif? Kenapa bukan strategis? Sebuah kerjasama berangkat dari kepentingan masing masing yang memiliki rumusan masalah dan tujuan yang dapat diusahakan solusinya secara bersama sama. Solusi yang dapat diusahakan bersama akan menjadi strategis apabila menyentuh kepentingan yang strategis pula.

Menurut William Liddle salah satu prioritas utama kepentingan Amerika adalah pemulihan perekonomian dalam negeri, sementara kepentingan Indonesia yang mengemuka dewasa ini adalah pemberantasan korupsi, selain tentunya masih berkutat dengan Millenium Development Goals. Lalu kenapa kesepakatan kedua belah pihak sepertinya tidak merefleksikan kerjasama untuk solusi kepentingan utama kedua belah pihak?

Apakah karena keterbatasan kemampuan masing masing dalam membantu satu sama lain? Atau kurangnya pemahaman tentang apa yang bisa dilakukan secara bersama. Isu seperti pemberantasan korupsi, keterbukaan dan akuntabilitas sebenarnya sudah menjadi isu global. Bahkan Amerika menjadi pemain di garda depan dalam hal menangani masalah ini. Bagaimana kita bisa menjalin kerja sama dibidang ini tergantung dari bagaimana kita bisa melihat apa yang bisa diberikan oleh pemerintahan Obama dan bagaimana kita bisa mengartikulasikan kepentingan Indonesia.

Terpilihnya Obama sebagai Presiden AS tak lepas dari bagaimana Obama menggunakan Web 2.0 dalam menciptakan engagement dengan publik Amerika yang mengharapkan perubahan terutama dalam perbaikan perekonomian dalam negeri selain perbaikan citra Amerika dimata dunia. Kemenangan diraih dengan cara yang sama sekali berbeda dari pendahulunya yang menggunakan mekanisme dukungan dana kampanye dari dunia korporasi secara tertutup. Namun Obama merubahnya dengan mekanisme dukungan publik secara terbuka.

Pesona terpilihnya Presiden AS pertama dari ras Afro-American yang ramah pada dunia Islam menyita perhatian dunia sehingga luput menyadari betapa pentingnya bagaimana Web 2.0 dapat didayagunakan. Sedemikian pentingnya sehingga pada hari pertama Obama bertugas di Gedung Putih hal yang ia lakukan adalah menandatangani memorandum: Memorandum on Transparency and Open Government. Sebuah memorandum yang menciptakan standar baru: unprecedented level of openness in Government.

Memorandum Open Government tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya Open Government Directive yang isinya menginstruksikan institusi pemerintahan AS untuk menyediakan informasi publik dalam bentuk Open Data sebagai langkah menuju Open Government.

Kemudian Obama mempromosikan Vivek Kundra sebagai Chief Information Officer dan Aneesh Chopra sebagai Chief Technology Officer. Jabatan tersebut sebelumnya belum pernah ada dalam sejarah pemerintahan AS. Diangkatnya kedua pejabat publik tersebut terkait erat dengan bagaimana memecahkan masalah kesejahteraan dalam negeri pasca krisis dengan mendayagunakan teknologi informasi. Berikut adalah kutipan pernyataan Obama:

As Chief Technology Officer, Chopra’s job will be to promote technological innovation to help the country meet its goals such as job creation, reducing health care costs, and protecting the homeland. Together with Chief Information Officer Vivek Kundra, their jobs are to make the government more effective, efficient, and transparent.

Inisiatif Open Government kemudian bergema dan oleh kalangan akademisi di Amerika menyebut gerakan ini sebagai gerakan Government 2.0 menyambut dengan positif dan melakukan kajian, riset, seminar, konferensi dan bahkan expo.

Gaung gerakan government 2.0 itu muncul di beberapa negara lain yang memiliki kesadaran akan potensi teknologi Web 2.0 dapat didayagunakan sebagai solusi berbagai permasalahan. Pada negara lain umumnya kesadaran itu dipelopori oleh LSM yang kemudian memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintahnya. Hingga kini tercatat sebelas negara yang telah mendeklarasikan komitmen dan dukungannya pada gerakan government 2.0; antara lain: AS, Inggris, Kanada, Australia, Selandai Baru, Estonia, Denmark, Finlandia, Yunani, Norwegia dan Spanyol.

Ketika kunjungan Obama ke India sebelum mengunjungi Indonesia kemarin, pemerintah India menggiring Obama mengunjungi sebuah expo tentang Demokrasi dan Open Government yang kemudian disusul dengan penandatanganan kerjasama Open Government antara pemerintah India dan pemerintah AS.

Sebuah artikulasi kepentingan nasional India yang jitu dan menghasilkan kesepakatan kerjasama yang memiliki makna sangat strategis menurut saya. Seharusnya Indonesia dapat menjalin kerjasama serupa dengan AS mengingat kepentingan bersama yang ada didalamnya sangat besar. Dimanakah posisi Indonesia dalam menuju government 2.0? Tunggu postingan kami berikutnya…

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2010

Seminar ini diselenggarakan oleh Universitas Tarumanegara setiap tahun sejak 2004. Tema tahun 2010 ini adalah “IT for Business; Integrated System” dengan dua pembicara utama yaitu praktisi dari PT Microsoft Indonesia (Tony Seno Hartono) dan PT Unilever Indonesia (Danarjaya Sri).

Panitia dan Keynote Speaker

Menyeminarkan 48 makalah pada tanggal 27 November yang lalu membuat seminar sehari ini padat acara. Tiap pemakalah mendapat waktu sangat terbatas, hanya 15 menit saja. Tapi ternyata dua pemakalah utama memakan waktu lebih panjang sehingga pada giliran kami waktu terpaksa dikurangi menjadi hanya tujuh menit presentasi dan tiga menit tanya jawab.

Dengan demikian pemakalah harus melakukan presentasi dengan lebih cepat dan melewati beberapa slide yang tidak terlalu penting. Tapi overall penyelenggaraan oleh panitia sangat bagus. Disediakan beberapa ruang terpisah sehingga seminar bisa berjalan paralel dan peserta seminar bisa memilih topik yang mereka minati

Makalah Government 2.0 mendapat jadwal pertama di ruang Komisi B. Setelah presentasi dan menjawab sebuah pertanyaan karena keterbatasan waktu, untuk kedepan saya merasa harus mempersiapkan slide Government 2.0 dalam berbagai versi durasi, termasuk versi durasi lima menit agar esensi bisa tersampaikan dengan lebih baik. Slide hasil ringkasan dari presentasi dengan durasi lebih panjang ternyata tidak sebaik jika slide memang dibuat untuk durasi pendek.

Makalah makalah yang diseminarkan cukup menarik bagi saya, terutama makalah yang berhubungan dengan e-Government. Pengalaman yang paling menarik dari seminar ini adalah karena saya selama ini kesulitan menemukan makalah atau paper yang mengambil topik yang serupa dengan Government 2.0.

Tapi kali ini pucuk dicita ulam tiba saya bertemu dengan salah seorang pemakalah: Hendrik Karim dari Universitas Islam Indonesia Jogjakarta dengan judul makalah: “Linked Open Data, Sebuah Model Guna Mendukung Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik“. Kami mengkaji isu yang sama yaitu Open Government dimana salah satu unsurnya adalah Linked Open Data. Kami menggunakan banyak referensi yang sama. Senangnya luar biasa bisa ngobrol nyambung. Makalah itu merupakan tesisnya untuk meraih gelar M.Eng dari School of Engineering and Technology, Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2010.

Tapi hal yang membuat lebih semangat lagi adalah bertemu dengan beberapa pemakalah lain yang kajiaannya potensiil menjadi aplikasi client dari platform Government 2.0. Salah satu diantaranya adalah kajian dari Teguh Prasandy dengan judul: “Rekayasa Sistem Informasi Perikanan Berbasis Web“. Dalam blueprint e-Government milik Kemkominfo, aplikasi perikanan ini termasuk modul Perikanan dan Kelautan dan juga bisa masuk dalam modul Potensi Daerah. Kajian ini juga merupakan tesisnya di Universitas Diponegoro.

Sedikit mengejutkan ada studi kasus tentang sebuah sistem informasi yang konsep kerjanya sudah mengarah kepada Government 2.0, ditulisan oleh Muanam dan Mochamad Wahyudi dari AMIK BSI dengan judul makalah: “Perancangan dan Evaluasi Sistem Informasi Manajemen Potensi Mikrohidro Berbasis Web menggunakan Sistem Informasi Geografis Google Maps: Studi Kasus pada Integrated Microhydro Development and Application Program“.

Saya pernah menulis tentang “Teknologi Informasi Untuk Solusi Pemetaan Lokasi Tindak Kejahatan“. Dalam tulisan tersebut saya sertakan contoh aplikasi Government 2.0 dimana data dimasukan oleh tidak hanya petugas tapi dari rekanan petugas yang melalui proses validasi sebelum ditampilkan ke pengguna.

Kemudian data yang dihasilkan juga tidak diproteksi tapi dibuat Open Data sehingga masyarakat luas bisa me-reuse data tersebut untuk dibuat mashup, dengan demikian modularitas ditingkat aplikasi bisa dicapai atau lebih banyak dikenal sebagai widget. Sejauh mana Open dari data yang dihasilkan belum saya teliti lagi sebab ada beberapa kriteria Open untuk bisa dikategorikan Open Data. Namun demikian saya sudah menganggap bahwa ini adalah hal yang luar biasa, sebab untuk melakukan keterbukaan data perlu mindset yang juga Open. Hal ini perlu di contoh oleh institusi lain dari Pemerintah.

Lebih lanjut saya berharap bisa menyelesaikan platform Government 2.0 versi live beta dalam waktu dekat untuk dapat segera mendemokan kepada pihak pihak yang berpotensi menjadi aplikasi client seperti Mikrohidro dan Perikanan diatas yang merupakan aplikasi dari modul Potensi Daerah.

Target awal tahun 2011 platform sudah bisa live dan dapat diakses publik, untuk mengikuti perkembangannya pantau terus Page Facebook kami.

Kategori:Gov 2.0

Kesepakatan Kerjasama Komprehensif AS – RI

  1. Kerjasama di bidang perdagangan dan investasi. Dalam kerjasama ini Obama berjanji meningkatkan peran AS terhadap Indonesia. AS saat ini merupakan salah satu mitra dagang Indonesia terpenting dengan nilai mencapai US$ 21 miliar pada tahun 2008. AS juga merupakan investor terbesar ketiga untuk Indonesia.
  2. Kerjasama di bidang energi. Pemerintah RI mengundang AS untuk ikut mengembangkan sumber energi panas bumi.
  3. Kerjasama di bidang perubahan iklim, pengelolaan dan pelestarian hutan. Indonesia memiliki kewajiban memelihara hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan memiliki target untuk mengurangi 26% emisi gas sebelum 2020.
  4. Meningkatkan kerjasama bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia menyampaikan terima kasih kepada Presiden AS atas bantuan dan kerjasama selama ini di bidang pendidikan. Sewaktu pertemuan di Toronto AS beberapa waktu lalu, AS membantu 160 juta U$ untuk pengembangan pendidikan di Indonesia.
  5. Menggarisbawahi kerjasama di bidang kontra terorisme, karena terorisme menjadi musuh semua bangsa. Indonesia ingin kerjasama ini diletakkan dalam konteks penegakan hukum.
  6. Kerjasama untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik, termasuk wilayah Asia yang sekarang sedang menjadi sorotan karena perubahan geopolitik dewasa ini.
  7. Mendorong G-20 sebagai forum utama untuk membangun pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat danberkelanjutan. Kemudian menjaga keseimbangan perekonomian sehingga bisa membawa manfaat bagi semua bangsa.

Sumber: Inilah.com

Kategori:Berita Tag:

RUU Konvergensi

Tweet dari @sufehmi (Harry Sufehmi) tentang RUU Konvergensi
Dimulai pada: Fri Oct 08 23:30:40 +0000 2010
Berkahir pada: Fri Oct 08 23:33:25 +0000 2010

  • 1) Lagi baca RUU Konvergensi http://goo.gl/1Uk2 – ini bisa dampak negatif ke software #OpenSource #RUUk
  • 2) #Pasal 12 poin 1 akan mempersulit sebuah start-up #OpenSource yang sedang saya garap. Paduan software+service via Internet #RUUk
  • 3) Klarifikasi: ini bukan hanya soal saya pribadi – tapi sekedar memberikan contoh #riil. Silakan jika ada contoh2 lainnya juga #RUUk
  • 4) #Pasal 7 memberikan kesempatan pada rakyat untuk turut awasi implementasi RUU Konvergensi. Perlu perhatikan PP utk pasal ini #RUUk
  • 5) #Pasal 16 bisa potensi membuyarkan kerja keras rekan2 aktivis RT/RW Net & Internet selama ini. Hotspot2 gratis bisa hilang. #RUUk
  • 6) Di Malaysia, saya terkejut karena amat susah mendapatkan Hotspot, apalagi yg gratis. Di Indonesia dimana2, hebat 🙂 #RUUk
  • 7) Perlu ada perkecualian di Pasal 16, agar ada spektrum radio yg bisa tetap bebas utk kepentingan publik #RUUk
  • 8) #Pasal 23, orbit satelit – Orbit Geostasioner adalah aset nasional yg sangat terbatas: http://goo.gl/y7JT #RUUk
  • 9) Saat ini sudah ada sekitar 60 satelit di OrbitGeo Indonesia: http://www.satsig.net/sslist.htm #RUUk
  • 10) Pelanggaran pasal ini dendanya cuma max. Rp 100 juta 😦 Ini uang #receh di bisnis satelit. Musti lebih serius #RUUk
  • 11) #Pasal 26, standar layanan, perlu ada aturan khusus, agar tidak bunuh start-up / UKM – yg standarnya belum bisa spt MNC #RUUk
  • 12) #Pasal 28.2, #Sertifikasi alat pencatat/billing, potensi menyulitkan start-up / UKM #RUUk
  • 13) #Pasal 33, pemakaian infrastruktur bersama; jika dilaksanakan – maka ini bisa sangat baik #RUUk
  • 14) Contoh skenario: Internet broadband dari Fastnet, via kabel dari Telkom #RUUk
  • 15) #Pasal 41, badan regulasi telematika – ini perlu dijalankan dg betul, agar konsumen tidak lagi jadi obyek penderita saja #RUUk
  • 16) Di Inggris, saya pernah komplain ke Regulator. Prosedurnya sangat mudah, cepat, dan solusinya juga sangat pro konsumen. #RUUk
  • 17) Badan Regulasi ini musti siap layani puluhan juta pengguna layanan Telematika Indonesia. Utk jadi renungan. #RUUk
  • 18) Kembali ke #pasal 12 – Dg sifat global dari Internet, maka pebisnis Telematika Internasional akan diuntungkan #RUUk
  • 19) Mereka bisa nikmati semua potensi pasar Internet Indonesia – tanpa bisa dikenai pungutan/sanksi dari RUU Konvergensi ini #RUUk
  • 20) Perlu ada perkecualian di #pasal 12 untuk start-up / UKM / pribadi, agar tidak malah merugikan WNI #RUUk
  • 21) Atau, servis/aplikasi Internet Indonesia sebaiknya di #deregulasi saja. Telah terbukti bisa melejit tanpa intervensi #RUUk
  • 22) Kalau tetap akan di regulasi spt ini, maka cuma pebisnis besar yg akan bisa menikmati kue Internet Indonesia #RUUk
  • 23) MISSING IN ACTION: RUU Konvergensi justru belum bahas bbrp hal yg diperlukan. Spt, perlindungan berbagai hak WNI #RUUk
  • 24) Contoh: tidak ada kewajiban melindungi hak privacy WNI. Pebisnis bisa bebas abuse, spt jual-beli data pribadi, dll #RUUk
  • 25) Di era konvergensi ini, data pribadi kita (nama, telpon, dll) di satu media bisa jadi bulan2an abuse di media lainnya #RUUk
  • Demikian sedikit bahasan RUU Konvergensi. Selagi belum jadi UU, baiknya kita semua aktif beri masukan. Agar jadi lebih baik #RUUk
  • Bersama2, mudah-mudahan RUU ini bisa jadi lebih pro kebutuhan rakyat, dan lebih kebal abuse dari pihak-pihak yg beritikad buruk #RUUk
  • RUU Konvergensi bisa dibaca disini: http://goo.gl/1Uk2 Selamat membaca & berdiskusi #RUUk
Kategori:Reportase

E-Government dalam Network-Economy

Bergesernya paradigma ekonomi dari industrial-economy menuju network-economy akibat dari pesatnya perkembangan Teknologi Informasi (TI) tidak berhenti hanya pada sektor swasta. Sektor pemerintahan juga mengalami perubahan. Lebih tepatnya dituntut untuk berubah. Bagaimana sebaiknya perubahan dalam pemerintahan menjadi tantangan karena organisasi dan proses bisnis dalam pemerintahan sangat kompleks dan terkait satu sama lain.

Kemampuan untuk dapat saling terkait dan bekerja sama dalam keterkaitan itu pada sebuah pemerintahan, oleh PBB kemudian dijadikan puncak tahapan kinerja sebuah sistem pemerintahan dengan label connected governance. Penggunaan TI dalam pemerintahan atau lebih dikenal dengan e-Government menjadi keniscayaan dalam proses menuju connected governance.

Sebelum melihat bagaimana bentuk perubahan yang ideal untuk pemerintahan terlebih dahulu perlu diketahui apa yang menyebabkan perlu berubah dan kenapa pemerintahan lebih sulit berubah dibanding dengan sektor swasta.

Secara ringkas dapat digambarkan bahwa sebuah industri memberikan value kepada pelanggannya setelah melalui value chain. Pada era industrial-economy semua proses dalam value chain diusahakan dan dikuasai oleh satu pihak yaitu pemilik. Penguasaan oleh satu pihak mengarah kepada monopoli. Iklim monopoli menimbulkan perilaku status quo dimana pelaku industri enggan untuk mencari inovasi baru dalam memberikan layanan yang lebih baik karena tidak ada ancaman dari pesaing.

Ketika pesaing dapat menemukan inovasi baru yang memungkinkan biaya produksi dalam value chain menjadi lebih kecil sehingga pelanggan dapat dilayani atau disuguhi oleh produk dan layanan yang lebih bersaing dari sisi harga maupun kualitas. Disinilah pentingnya persaingan. Dalam era network-economy pintu persaingan dibuka lebar lebar sehingga mendongkrak jumlah inovasi untuk layanan yang lebih baik.

Hal inilah yang mendorong pergeseran paradigma ekonomi ke arah network-economy dimana proses proses dalam value chain dapat memisahkan diri untuk menjadi entitas bisnis tersendiri. Bisnis yang berdiri sendiri tersebut kemudian tidak hanya melayani proses bisnis dari value chain dalam bisnis asalnya tapi juga dapat melayani proses bisnis dari value chain pada bisnis yang berbeda.

Pemain dalam satu industri menjadi bertambah karena banyaknya entitas bisnis baru akibat pemisahan diri dari bisnis induknya. Namun tidak sedikit juga yang melahirkan berbagai macam bisnis baru yang sifatnya spesifik dan komplementer. Disinilah mekanisme persaingan berperan dalam meningkatkan kualitas layanan dan produk. Persaingan mengakibatkan perburuan akan penciptaan inovasi baru.

Sektor pemerintahan idealnya dapat mengikuti evolusi tersebut. Namun hirarki organisasi yang bertingkat tingkat dan birokrasi yang panjang menjadi salah satu faktor kelambanan. Bahkan  e-Government dari sisi TI tidak berbeda dengan sektor swasta. Perbedaan mendasar adalah pada sektor swasta perkembangan layanan di drive oleh keinginan untuk memuaskan pelanggan. Sedangkan pada sektor pemerintahan perkembangan layanan lebih kepada kepatuhan kepada aturan.

Perbedaan ini menimbulkan perbedaan perilaku. Sektor swasta sangat memperhatikan masukkan dari pelanggan untuk menciptakan inovasi baru. Sementara apa yang menjadi perhatian pada sektor pemerintahan adalah aturan hukum. Pengembangan layanan mendapat masukan dari jalur birokrasi yang sering kali tidak bersentuhan langsung dengan pengguna layanan. Kepekaan untuk memuaskan publik pengguna layanan menjadi tenggelam dalam usaha untuk mematuhi birokrasi.

Karena aturan yang ketat juga menyebabkan pengembang dalam sektor pemerintahan tidak banyak sehingga cenderung tidak memiliki iklim persaingan yang cukup kondusif untuk penciptaan inovasi baru. Kondisi sektor pemerintahan harus dibuat seperti dalam pembahasan di awal tulisan ini tentang network-economy.

Proses bisnis dalam sektor pemerintahan sebaiknya dibebaskan sebesar mungkin untuk dapat berdiri sendiri menjadi unit kerja tersendiri yang lebih kecil sehingga dapat bergerak lebih leluasa dalam mengembangkan layanan. Hasilnya adalah akan lebih banyak layanan yang diprovide oleh sektor swasta. Pemerintah pada akhirnya hanya akan memainkan peran regulator.

Dalam pelibatan sektor swasta pada layanan publik pemerintahan diperlukan sebuah kerangka kerja yang dapat memastikan antara satu inovasi dengan inovasi yang lain bisa saling terkait dan bekerja sama supaya dapat memberikan layanan yang komprehensif, tidak overlap, tidak redundant dan terintegrasi. Keterkaitan itu akan meliputi keterkaitan antara pemerintahan dan publik, antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, antara dinas dan lembaga pemerintahan atau dengan satu istilah dapat disebut dengan connected governance.

Kerangka kerja yang dimaksud telah menjadi wacana wajib dalam sistem e-Government diberbagai negara yang disebut dengan Government Interoperability Framework (GIF). Tidak terkecuali Indonesia yang telah menyebutkannya dalam Cetak Biru e-Government Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemkominfo RI. Namun demikian konsep GIF tersebut harus dapat digunakan tidak hanya dalam bentuk konsep tapi harus dalam bentuk yang sesungguhnya berupa platform. Sebuah platform yang memungkinkan sektor swasta ikut terlibat dalam menciptakan inovasi untuk layanan publik pemerintahan. Bagaimana bentuk platform tersebut akan dimuat dalam tulisan lebih lanjut.

Kategori:Gov 2.0

Indonesian Government 2.0 Model Design

Thesis Author: Wibisono Sastrodiwiryo

Supervisor: Dana Indra Sensuse, Ph.D

Organization: e-Government Laboratory of the University of Indonesia

The United Nation study results showed that e-Government will only be successful if there is strong demand and support from the community. Strong demand will come from better awareness of the opportunities offered by e-government services which can be achieved by increasing innovations. Innovations in massive amount can be provided if only allowing other parties to participate to create innovations. The ability to give other parties the opportunity to participate is to transform government into platforms. The power of platform has been proved by the winners of the computer industry such as IBM PC, Microsoft Windows, Linux, Apple’s iPhone and Facebook.

Learn from those successes, at the time of this research, thinking government as a platform is being much discussed in many developed countries namely U.S., UK, Australia and Canada. The discussion is about government in the form of a platform that uses the concept of Web 2.0. Some people call it as Government 2.0 and in the United States has maintained a summit since the year 2009 under the name of Gov 2.0 Summit.

This study examines model of Government 2.0 platform for the Indonesian e-Government context. Government 2.0 platform is more than just a web services because it will be used as the basis for e-Government services. It must have Web 2.0 characteristic by letting individual developers creating innovations.This way will enable other party other than Government to develop their own application and in the end it can multiply the impact of public services. The architecture of the platform is designed using Resource Oriented Architecture (ROA) so that inherit web services’ traits which are: “time to market”, “scalability” and “extensibility”.

Open Application Programming Interface (API) usage will encourage the democratization of innovation that is very much needed in the development of e-Government. As a platform that has the basic application components which can be shared by other applications, this platform also has four basic components to demonstrate the functionality of the service. The result is a web services with basic components which are: Navigation, Formfield, Authentication and Region taken from the four modules in the taxonomy of the Blueprint for e-Government Development issued by the Ministry of Communication and Information Technology Republic of Indonesia.

Keyword: e-Government, Web 2.0, Web Services, REST, ROA, Government 2.0, Open API, Platform

xii+85 pages; 45 images; 7 tables; 9 attachments; bibliography: (2004-2010)

Kategori:Gov 2.0 Tag:, ,

Penyaringan Konten Negatif di Internet

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=412087251919

Polemik mengenai perlunya penyaringan konten negatif d internet, khususnya yang berbau pornografi, kembali mengemuka beberapa hari terakhir. Terutama setelah Menkominfo Tifatul Sembiring menitahkan kepada Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet melaksanakan kewajiban penyaringan tersebut.

Bedanya, kali ini disertai penekanan batas waktu hingga satu bulan ke depan.

Namun nampaknya, hingga saat ini belum ada kesepahaman apalagi titik temu secara teknis pelaksanaan penyaringan yang efektif antara pelaku industri yang dikenai kewajiban dengan pemerintah yang menginginkan hal ini terwujud segera, mengingat semakin besarnya dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Kedua belah pihak sepertinya harus berusaha saling memahami dan membuka peluang kerjasama.

Suatu Keniscayaan

Pada dasarnya, penyaringan konten adalah suatu hal yang wajar dan dilakukan oleh hampir semua negara yang memanfaatkan internet. Tujuannya adalah untuk melindungi tatanan sosial masyarakat, norma dan nilai yang diyakini atau dianut oleh negara dan bangsa serta sekaligus menjaga agar iklim industri juga berjalan dalam suasana yang kondusif.

Walaupun dengan cara dan sasaran yang berbeda-beda namun sebagian besar penyaringan yang dilakukan oleh negara-negara ini ditujukan kepada konten yang dianggap negatif dan atau melanggar hukum positif yang berlaku di suatu negara. Sehingga penyaringan konten ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya menangkal kejahatan di internet.

Sebagai ilustrasi, kebanyakan negara maju di Eropa dan Amerika walaupun permisif terhadap industri konten pornografi namun kenyataannya melakukan pengawasan dan pembatasan akses yang tegas untuk kelompok masyarakat tertentu saja, misalnya berdasarkan umur dan lokasi geografis sesuai dengan budaya setempat.

Sedangkan pornografi anak sama sekali dilarang dan selalu dianggap sebagai suatu kejahatan yang amat berat ancaman hukumannya.

Di Indonesia, yang dimaksud dengan konten negatif di internet adalah yang mengandung perbuatan yang dilarang di dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu tepatnya pada pasal 27 Ayat 1 (Kesusilaan), Ayat 2 (Perjudian), Pasal 3 (Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik), Ayat 4 (Pemerasan dan atau Pengancaman) dan Pasal 28 Ayat 1 (Menyebarkan berita bohong), Ayat 2 (SARA).

Khusus untuk asusila diambil pula pasal-pasal di dalam Undang Undang Anti Pornografi dan untuk kejahatan terhadap anak-anak digunakan Undang Undang Perlindungan Anak.

Kebebasan di Internet

Namun demikian, ada sebagian kelompok pendukung kebebasan di internet yang khawatir adanya intervensi, apapun itu bentuknya terhadap kehendak masyarakat internet adalah pelanggaran terhadap hak kebebasan berbicara serta berekspresi. Sekalipun itu dilakukan negara berdasarkan hukum positif.

Pada kenyataannya, semua negara demokrasi di dunia mengakui bahwa ada kebebasan berbicara dan berekspresi namun hak ini dibatasi oleh hak orang lainnya. Ketika ada orang lain atau kepentingan publik yang dirugikan, maka kebebasan itu tetap harus dibatasi dan dikendalikan.

Dan semua negara yang telah memanfaatkan internet juga telah sepakat bahwa tindak pidana tetaplah suatu perbuatan kriminal, bukan bagian dari kebebasan yang dimaksud di atas.

Sesungguhnya model penyaringan konten internet yang bersifat represif dengan latar belakang ideologi dan politik serta kepentingan nasional hanya terjadi di beberapa (sebagian kecil) negara saja seperti China, Arab Saudi, Iran, Myanmar, Korea Utara, Malaysia dan beberapa negara kecil lainnya yang tidak signifikan jumlahnya.

Hal itu biasanya dilakukan dengan cara mengendalikan infrastruktur internet secara keseluruhan untuk membatasi gerakan publik yang menyokong separatisme, keterbukaan dan demokrasi serta HAM yang bertentangan dengan kepentingan kekuasan dan dianggap mengancam integritas nasional, sekaligus mencegah konten yang dianggap negatif secara universal (asusila, perjudian, dan lainnya).

Meskipun demikian, kebijakan pengendalian infrastruktur internet semacam ini juga tidak selalu berkonotasi negatif.

Statistik menunjukkan bahwa pada sisi lain kebijakan pengendalian tersebut ternyata dapat meningkatkan kualitas efisiensi akses yang justru memajukan bangsa itu sendiri. Sebab, komunitas internetnya lebih fokus di dalam memanfaatkan internet sekaligus menciptakan kemandirian. Negara itu tidak lagi tergantung pada layanan internet dan konten dari negara lain. Sehingga potensi dan ekonomi internet lokal pun tumbuh pesat.

Konsep Pendekatan

Pihak Pemerintah, pelaku industri maupun komunitas internet terutama aktivis media alternatif (bloggers/citizen jurnalism) dan kadang kala kalangan jurnalis media mainstream (terutama online) masih rancu menempatkan penyaringan sebagai suatu sensor. Sesungguhnya konsep pendekatan keduanya berbeda.

Di dalam penyaringan, suatu konten negatif telah terlebih dahulu ada atau ditayangkan baru kemudian diambil tindakan atau upaya untuk membatasi akses kepadanya. Sedangkan sensor adalah sebuah proses di mana produksi suatu konten harus mendapatkan persetujuan dari otoritas tertentu sebelum ditayangkan sehingga model sensor adalah pengendalian sepenuhnya terhadap kebebasan berbicara dan berekspresi.

Sementara penyaringan justru dimaksudkan melindungi dari konten yang tidak dikehendaki oleh publik. Pada prinsipnya sensor mengubah atau menghilangkan sebagian atau seluruhnya suatu konten sedangkan konsep penyaringan hanyalah melakukan penangkalan terhadap konten yang spesifik.

Di Indonesia, polemik terkait konsep kebijakan penyaringan nampaknya terbagi dalam dua pendapat mainstream. Yang pertama, konsep self filtering (penyaringan sendiri) yang banyak didukung oleh komunitas sipil dan pelaku industri internet selaku pemangku kepentingan.
Pendapat pertama ini percaya kepada kearifan para pengguna internet. Untuk mencegah konten negatif dilakukan kampanye berkelanjutan untuk menggugah kesadaran dan memberi keterampilan serta solusi (perangkat, tools, layanan) sehingga para pengguna mampu melindungi dirinya sendiri secara mandiri.

Para aktivis, pelaku industri dan pemerintah berperan sesuai kapasitas masing-masing serta bekerjasama menyelenggarakan kegiatan kampanye sebanyak mungkin dan menyebarluaskan solusinya.

Konsep self filtering ini diyakini dapat berjalan efektif apabila didukung oleh semua pelaku yang terlibat di dalam aktivitas berinternet di Indonesia. Secara strategis para aktivis internet percaya bahwa konsep ini dalam jangka panjang lebih mendidik karena turut menyiapkan kesiapan mental pengguna internet.

Sekaligus meminimalisir intervensi, arogansi dan penyalahgunaan kewenangan pemerintah di dalam melakukan represi ranah internet dimana hal tersebut dapat berpotensi mencederai hak kebebasan berbicara dan berekspresi.

Yang kedua adalah konsep filtering by design (penyaringan terstruktur) yang banyak didukung oleh para ahli praktisi keamanan internet dan pemerintah.

Dalam konsep ini seluruh pemangku kepentingan internet di Indonesia didorong oleh pemerintah untuk bekerja sama membangun suatu layanan penyaringan konten negatif yang terintegrasi dan komprehensif (menyeluruh) diterapkan sesuai dengan tatanan industri internet nasional sebagai suatu tanggung jawab moral bersama.

Semua inisiatif diadopsi, difasilitasi dan dilakukan dengan kewenangan (regulasi, birokrasi, represi) pemerintah. Sedang untuk mencegah terjadinya abuse of power (penyalahgunaan) maka sistem yang dibangun harus memungkinkan peran serta masyarakat sipil, komunitas internet dan dunia industri yang lebih dominan dibandingkan dengan pemerintah/kekuasaan.

Konsep filtering by design diyakini dapat berjalan efektif untuk secara instan melindungi para pengguna yang awam, pengguna baru dan anak-anak terutama terhadap praktek penyesatan yang dilakukan oleh penyedia konten negatif.

Para pendukung konsep ini percaya bahwa pada prakteknya kemampuan melakukan kampanye kesadaran yang dilakukan oleh pihak manapun sangatlah terbatas dan tidak mampu menjangkau keseluruhan populasi pengguna internet yang terus tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Sehingga kondisi pada umumnya yang akan terjadi adalah lebih banyak pengguna internet yang tidak terlindungi sehingga ini menimbulkan aneka kerawanan. Maka lebih baik dilakukan proteksi preventif dan reaktif ketimbang menunggu kesadaran dan partisipasi pengguna.
Walaupun untuk itu diperlukan effort yang besar serta penataan kembali hingga penyederhanaan tatanan industri internet nasional dan kondisi infrastrukturnya.

Sekedar catatan, dengan tingkat pertumbuhan dan penetrasi internet saat ini, diperkirakan ada 10 ribu pengguna internet baru setiap hari di Indonesia dan lebih dari 40% diantaranya adalah anak-anak remaja usia sekolah menengah.

Sebagian besar bahkan seluruhnya pengguna baru ini adalah sangat awam dan tidak pernah mendapat informasi dan pendampingan untuk melindungi diri dan lingkungan dari dampak negatif internet serta konten negatif yang berbahaya.

Pemahaman Teknis

Para pengambil kebijakan yang nantinya akan membahas penyaringan konten internet pada prinsipnya harus memiliki pemahaman teknis bagaimana internet bekerja dan pada tingkatan mana suatu solusi penyaringan konten akan dapat dilakukan dan model serta teknologi apa saja yang mungkin diterapkan:

1.Penyaringan pada jaringan. Pada prinsipnya internet adalah jaringan global yang menghubungkan titik akses dengan layanan tujuannya. Koneksi internet terjadi sebagai suatu proses dimana perangkat akses akan saling terhubung dengan aneka layanan internet melalui suatu jaringan publik secara terbuka.

Dalam proses ini secara prinsip ada tiga hal yang bekerja yaitu alamat IP (setiap perangkat akses memiliki alamat IP yang unik sebagai pengenal di dalam jaringan), domain name (sistem pemetaan alamat IP ke nama yang mudah dikenal manusia dan sebaliknya) dan URL (uniform resource locator atau sistem yang mengarahkan pengguna ke suatu lokasi konten tertentu).

Maka teknis penyaringan konten pun dapat dilakukan dengan metode daftar hitam (blacklist) alamat IP, domain dan URL yang dipastikan mengandung konten negatif. Semua ini dapat dilakukan pada tingkat pengguna, tapi untuk hasil yang lebih efektif dan berskala luas harus dilakukan oleh ISP dan NAP.

Karakteristik penyaringan berbasis daftar hitam alamat IP dan domain relatif sifatnya tetap/tidak berubah untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga tidak membutuhkan sumber daya yang besar untuk implementasi. Biayanya murah dan mudah direplikasi ke semua ISP karena database blacklist dapat digunakan bersama.

Kelemahannya, apabila database daftar hitam semakin besar maka waktu proses (latency) yang diperlukan untuk memeriksa setiap akses yang terjadi mungkin akan meningkat. Namun ada banyak cara untuk mereduksi, misalnya dengan menyediakan active buffer yang lebih besar.

Ada banyak layanan penyedia daftar hitam terkini untuk pemutakhiran data baik yang berbayar (langganan) maupun tidak berbayar. Sehingga setiap ISP dapat leluasa menyelenggarakan penyaringan dengan klasifikasi sesuai selera menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggannya. Bahkan mungkin bisa dijual juga sebagai  layanan nilai tambah (value added service).
Pilihan lain, pemutakhiran dapat melibatkan peran serta komunitas internet secara aktif lewat mekanisme pelaporan dan partisipasi pengklasifikasian konten negatif.

Sedangkan untuk penyaringan URL membutuhkan upaya dan sumber daya yang lebih besar dibandingkan penyaringan berbasis IP dan domain karena suatu URL sifatnya spesifik (langsung mengarah pada lokasi konten tertentu) dan dinamis (dapat berubah dengan cepat).
Penentuan alamat URL berada sepenuhnya dalam kendali pemilik atau penyebar konten tersebut. Sehingga apabila konten tersebut bersifat negatif dan diburu (disaring) oleh banyak pihak maka si pelaku dapat dengan mudah memindahkan lokasinya bahkan menggandakannya di berbagai tempat lain untuk menghindari penangkalan.

Bahkan konten ini dapat disisipkan pada konten lain yang sebenarnya baik, sehingga sangat mungkin upaya penyaringan URL yang tidak presisi dapat mengakibatkan turut tersaringnya konten lain yang tidak bersalah. Upaya ini dapat menjadi semakin kompleks apabila pelaku memanfaatkan teknologi penyebaran artifisial secara otomatis sehingga bersifat acak, menyebar luas dan menyamarkan konten tersebut dalam konten-konten biasa lainnya.

Sesuai dengan tatanan industri internet Indonesia saat ini maka sebaiknya proses penyaringan URL dilakukan di tingkat NAP selaku penyelenggara gateway dan exchange bukan di ISP atau apalagi pengguna akhir.

Proses ini juga harus melibatkan peran aktif pemerintah sebagai justifikasi penyaringan yang dilakukan.

Berbeda dengan penyaringan berbasis IP dan domain yang bisa dilaksanakan secara terbuka melibatkan banyak pihak, maka proses untuk penyaringan URL sebaiknya dilaksanakan secara tertutup, cermat, berhati-hati serta melibatkan segelintir pihak yang tidak hanya kompeten tetapi juga memiliki kewenangan sesuai peraturan perundangan yang ada.

Penyaringan berbasis IP, domain dan URL adalah jenis filtering by design.

2.Penyaringan pada aplikasi. Pada dasarnya konten negatif sebenarnya dapat menyebar dengan berbagai macam cara memanfaatkan keawaman pengguna dan kelemahan aplikasi yang digunakannya. Sehingga konsep self filtering dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan ini. Intinya pengguna diajak meningkatkan kesadaran dan keterampilannya agar mampu melindungi diri dan turut serta menangkal penyebaran konten negatif di lingkungannya.

Ada banyak solusi untuk melakukan proteksi dan penyaringan aplikasi yang digunakan untuk akses internet. Misalnya menggunakan teknik deteksi kata kunci (keyword), pengenalan artifisial (regex) dan daftar putih (whitelist). Semua ini dikombinasikan pula dengan sistem dan teknologi anti virus, anti malware dan personal firewall yang terintegrasi di dalam sistem operasi.

Sistem perlindungan pengguna pada umumnya sudah tersedia secara default di setiap aplikasi, akan tetapi perlu diaktifkan dikonfigurasi secara manual. Apabila aplikasi yang digunakan seperti email agent, web browser belum menyediakan fasilitas ini maka pengguna dapat memasang produk pihak ketiga baik yang berbayar maupun yang tidak berbayar. Banyak pilihannya.

Walaupun pada dasarnya penyaringan pada aplikasi dapat dilakukan sendiri oleh pengguna akan tetapi ISP sudah seharusnya juga menyediakan layanan dukungan teknis sekaligus menyediakan aneka pilihan aplikasi perlindungan beserta pemutakhirannya apabila sekiranya nanti pengguna membutuhkan.

Tantangan Implementasi

Secara teoritis dan teknis penyaringan konten negatif sangat mungkin dilakukan baik di tingkat jaringan melibatkan penyelenggara (NAP dan ISP) maupun pada tingkat pengguna (self filtering). Tetapi ada beberapa hal yang patut dicermati berdasarkan pengalaman implementasi penyaringan konten negatif di negara lain dan inisiatif yang dilakukan oleh komunitas internet indonesia selama ini.

1. Masalah volume

Pertumbuhan konten termasuk yang negatif, pengguna dan traffic internet itu sendiri sangat pesat dan eksponensial. Sehingga upaya penyaringan akan membutuhkan upaya dan sumber daya serta biaya yang semakin meningkat.

Maka sebelum kebijakan penyaringan diterapkan, terlebih dahulu harus ada konsep dan desain serta rencana implementasi komprehensif serta telah teruji (proven) kehandalannya untuk menangani skala yang luas dan terus tumbuh. Pemerintah dan industri yang terlibat harus mampu menjamin aspek keberlangsungannya, karena sistem itu akan dibutuhkan jangka panjang.

2. Masalah kejenuhan

Bagaimanapun sistem penyaringan ini masih akan membutuhkan intervensi manual terutama untuk dua hal melakukan klasifikasi jenis konten negatif apakah itu tergolong sebagai pornografi, judi, dan lainnya.

Untuk melakukan pemeriksaan apakah konten yang dilaporkan masyarakat memang benar mengandung unsur negatif yang dilarang sekaligus melakukan pengujian apakah penyaringan yang dilakukan telah tepat sasaran. Pengalaman inisiatif sistem DNS filtering Nawala Project yang diselenggarakan oleh Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI) dalam sehari bisa diterima 200 lebih email pengaduan.

Pemeriksaan dan klasifikasi adalah pekerjaan yang melelahkan dan mengakibatkan kejenuhan mental dan pikiran yang luar biasa serta diperlukan kemampuan ketahanan tersendiri untuk melakukannya. Apalagi bila proses itu dikerjakan oleh relawan (voluntary), maka akan sangat sulit dijamin kecepatan respon pengaduan dan akurasi proses pemutakhiran data daftar hitam.

Sangat mungkin terjadi kesalahan akibat kekurangcermatan dan kelelahan mental. Maka harus dipikirkan kesiapan sumber daya manusia dari segi jumlah serta jadwal rotasi yang wajar untuk mengantisipasi pertubuhan pengaduan konten.

3. Masalah justifikasi

Suatu konten sebelum diklasifikasi dan dimasukkan ke dalam daftar hitam penyaringan harus mendapatkan justifikasi sebab musabab mengapa konten tersebut dianggap mengandung unsur negatif.

Pemerintah harus menghimpun sekelompok orang yang dianggap mewakili kepentingan dan sudut pandang yang ada di dalam masyarakat untuk melakukan justifikasi. Kelemahannya, belum tentu justifikasi itu diterima oleh kelompok lain atau minoritas yang terabaikan.

Hal semacam ini justru bisa menjadi preseden praktek demokrasi yang buruk. Kesalahan dan bias subyektif di dalam justifikasi bisa jadi berakibat fatal, sebagai contoh pengalaman yang terjadi di Nawala Project.

Penyaringan terhadap suatu situs yang memuat konten perdebatan agama yang cenderung mengarah kepada unsur SARA justru mendapatkan pertentangan dari kelompok yang merasa dihilangkan hak jawabnya oleh sistem penyaringan karena mereka tidak lagi leluasa mengakses situs debat tersebut.

Apalagi sebenarnya di dalam pemahaman dan definisi konten negatif menurut undang-undang pun ternyata masih menyisakan ruang intepretasi yang berbeda.

4. Masalah kebutuhan khusus

Dalam banyak aspek suatu sistem penyaringan sangat mungkin menghambat kegiatan tertentu yang sangat penting dan strategis seperti penelitian/riset, intelejen/data mining, sistem deteksi dini terhadap anomali infrastruktur internet hingga proses penegakan hukum.

Sebagai ilustrasi, upaya pelacakan dan pengumpulan alat bukti serta petunjuk di dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus penyebaran konten negatif justru memerlukan akses yang bebas terhadap material tersebut.

Untuk keperluan penyediaan alat bukti digital forensik (digital evidence containment) bahkan  harus dilakukan retensi bukan hanya oleh penegak hukum tetapi juga pihak penyelenggara (misalnya web hosting atau content provider).

Prosedur ini sangat diperlukan di dalam rekonstruksi pengungkapan tindak kejahatan digital. Apabila tekanan ketentuan penyaringan kurang memperhitungkan kebutuhan penegakan hukum, kebijakan tersebut justru akan mendorong penyelenggara untuk melakukan tindakan yang justru mengakibatkan hilangnya alat bukti, menghapus jejak pelaku dan menyulitkan proses hukum di kemudian hari.

5. Masalah peralihan saluran penyebaran

Pengendalian konten harus dilakukan secara cermat, hati-hati, memperhatikan momentum di masyarakat serta tidak terburu-buru. Kearifan diperlukan justru untuk menjamin keberhasilan upaya ini dalam jangka panjang Sebab di dalam proses penyaringan sebenarnya berlaku hukum balon, yaitu apabila dipencet hingga mengempis pada satu sisi justru akan mengembang luas di sisi yang lain.

Penyaringan konten negatif pada layanan yang berada di saluran terbuka justru akan mendorong penyebaran melalui saluran yang tertutup dan lebih bersifat pribadi (private). Misalnya, penyaringan situs pornografi mungkin akan mendorong penyebaran konten negatif ini melalui saluran email, peer to peer file sharing, dan lainnya.

Akses yang bersifat tertutup dan pribadi seperti ini tentu saja sangat sulit untuk ditangkal dan sudah masuk ke wilayah hak individu yang justru harus dilindungi sesuai prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

6. Perkembangan akses seluler

Semua pihak kini mengkritisi penyebaran konten negatif pada saluran internet konvensional dan menyatakannya sebagai situasi yang kritis. Namun sebenarnya ada saluran lain yang luput dari perhatian kita yaitu akses selular. Apabila kita memperhatikan angka statistiknya maka segera dapat disadari bahwa masa depan internet justru ada di saluran selular ini.

Dalam 15+ tahun usia internet konvensional indonesia hanya mampu menghimpun 45 juta pengguna. Sementara akses data internet melalui jalur selular berhasil mencapai angka penetrasi 45 juta hanya dalam waktu 5 tahun.

Dari segi perangkat akses, internet konvensional saat ini hanya memiliki sekitar 8+ juta terminal (komputer) sementara untuk akses selular ada 85 juta perangkat yang sudah GPRS/EDGE, UMTS/HSDPA (3G), EVDO ready.

Model bisnis layanan seluler sangatlah berbeda dengan layanan internet biasa, dimana pemilik dan pelanggan seluler tidak serta merta menjadi pengguna akses data/internet.

Sehingga cara pendekatan dan edukasi penggunanya pun berbeda namun ironisnya justru Pemerintah selaku regulator yang hendak mendorong implementasi penyaringan konten negatif sama sekali belum mengajak dan atau mewajibkan para operator selular sebagaimana dikenakan pada ISP dan NAP.

7. Penyebaran offline

Bahwa antara dunia nyata dan dunia maya pada saat ini bukanlah dua ranah yang terpisah namun justru saling terkait erat satu sama lain. Yang terjadi di ranah internet juga membawa dampak ke ranah nyata dan sebaliknya.

Sehingga dalam kaitan upaya penyaringan konten negatif di internet harus pula diiringi dengan gerakan yang serupa di ranah nyata ini dan dilaksanakan secara bersamaan, intensif serta berkelanjutan.

Apabila tindakan dan sikap tegas tidak dilakukan di kedua ranah maka niscaya akan terjadi efek ping-pong dimana konten negatif akan berpindah-pindah dari ranah maya ke ranah nyata dan sebaliknya.

Demikian. Kiranya tulisan ini dapat mengawali wacana untuk menuju suatu kesepahaman dan kesamaan persepsi antara seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalam inisiatif ini. Semoga internet indonesia semakin maju, aman dan nyaman terbebas dari gangguan konten negatif dan berganti dengan tumbuhnya konten positif yang bermanfaat, memajukan dan mensejahterakan.

M. Salahuddien, penulis adalah aktivis, praktisi dan konsultan Teknologi Informasi, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua ID-SIRTII yaitu Indonesia Security Incident Response Team On Internet Infrastructure

Beberapa link menarik:

Kategori:Berita Tag:, ,

Indonesia ICT Award 2010

Usai sudah perhelatan akbar tahunan yang mendebarkan bagi para nominator. Pemenang Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Award 2010 sudah diumumkan, suka cita tak terbendung. Selama dua hari acara puncak selain senang bisa ikut berpartisipasi sebagai nominator juga senang mendapat banyak teman baru.

Panggung INAICTA 2010

Terutama kategori e-Government karena booth kami bersebelahan dan saling titip jaga booth jika harus meninggalkan booth ke toilet. Kadang balik dari toilet saya tidak lansung kembali ke booth tapi ngider dulu lihat kategori lain atau nyangkut di booth temen pada kategori lain.

Karya tahun ini bagus bagus dan sesuai perkiraan yang aneh aneh biasanya menang. Nominator untuk kategori e-Government adalah:

  1. Model Platform Government 2.0 Indonesia (GO-0713)
  2. Perangkat Lunak Pengelolaan Keuangan daerah “BKM DARA 1324″ (GO-0666)
  3. RESEP ELEKTRONIK: Sistem e-health dengan Pendeteksi Reaksi Obat Merugikan untuk Rekam Medik Elektronik di Puskesmas (GO-0343)
  4. WEBGIS SIMPOTENDA (Sistem Informasi Potensi Daerah Berbasis GIS yang disajikan dalam menunjang pelaksanaan E-gov (GO-0576)
  5. InfoKes (informasi dan Monitor Kesehatan) (GO-0166).

Para pemenangnya dari katgeori e-Government adalah sebagai berikut:

  • WINNER: InfoKes (Informasi dan Monitoring Kesehatan)
    M Hanif Dinada, Viktor Tunggul, Harry Ramananda (PT. Inovasi Tritek Informasi)
  • Special Mention: Resep Elektronik: Sistem e-health dengan Pendeteksi Reaksi Obat Merugikan untuk Rekam Medik Elektronik di Puskesmas
    Irma Melyani Puspitasari, Ira Dewi Jani ( Program Teknik Biomedical ITB)
  • Merit: Perangkat Lunak Pengelolaan Keuangan Daerah (BKM DARA 1324)
    Virgo Lazarus, Sonny Yulianto, Benni SM, Alexander BK, Muhammad Irham, Gotman PP, Satriyo Kurniadi (PT. Barelang Konsultindo Mandiri)

Pada kategori e-Government semua karya mewakili institusi kecuali karya Platform Government 2.0 yang mewakili individu. Kemudian semua karya juga merupakan karya yang telah dideploy di beberapa daerah atau paling tidak satu daerah. Seperti BKM DARA dan InfoKes yang telah digunakan dibeberapa daerah.

Untuk karya pemenang InfoKes adalah produk dari PT. Inovasi Tritek Informasi yang telah ikut berpartisipasi pada INAICTA 2008 dan 2009. Namun baru bisa keluar sebagai pemenang tahun ini. Selamat untuk M Hanif Dinada, Viktor Tunggul, Harry Ramananda dari PT. Inovasi Tritek Informasi yang bertempat di Bandung.

Bersama-sama selama dua hari cukup buat kami untuk saling mengenal dan berteman di Facebook. Saya lihat hal ini tidak terjadi pada nominator di kategori lain. Bahkan lebih dari itu kami tertarik untuk bekerja sama. Kebetulan karena karya Government 2.0 itu adalah platform berbasis web services sehingga dapat menjadi tempat dioperasikannya berbagai aplikasi lain.

Saya berharap sebelum INAICTA 2011, Government 2.0 sudah berfungsi sebagai platform dengan aplikasi dasar yang lebih lengkap dengan modul Keuangan Daerah milik BKM DARA atau modul kesehatan dari InfoKes atau Resep Elektronik, atau bisa juga dengan modul GIS dari WebGIS. See you next year…

Kategori:Gov 2.0 Tag:

Modul E-Gov Berdasarkan Obyek Layanan

No G2G G2B G2C
1 Bisnis dan Investasi
2 Industri dan Perdagangan
3 Industri Kecil dan Menengah (IKM)
4 Jalan dan Jembatan
5 Jaring Pengaman Sosial
6 Katalog Barang Daerah
7 Katalog Hukum, Peraturan dan Perundang-undangan Katalog Hukum, Peraturan dan Perundang-undangan Katalog Hukum, Peraturan dan Perundang-undangan
8 Kehutanan
9 Kependudukan
10 Kesehatan
11 Ketenagakerjaan
12 Kolaborasi dan Koordinasi
13 Manajemen Pelaporan Pemerintahan
14 Pariwisata
15 Pendaftaran dan Perijinan
16 Pendidikan
17 Pengadaan PNS
18 Pengaduan Masyarakat
19 Pengelolaan Barang Daerah
20 Pengelolaan dan Monitoring Proyek
21 Pengelolaan Pendapatan Daerah
22 Pengelolaan Perusahaan Daerah
23 Perencanaan Pembangunan Daerah
24 Perikanan dan Kelautan
25 Perpajakan dan Retribusi Perpajakan dan Retribusi
26 Pertambangan dan Energi
27 Pertanian, Peternakan dan Perkebunan
28 Potensi Daerah Potensi Daerah
29 Publikasi Informasi Umum dan Kepemerintahan Publikasi Informasi Umum dan Kepemerintahan Publikasi Informasi Umum dan Kepemerintahan
30 Sarana Umum
31 Sistem Absensi dan Penggajian
32 Sistem Administrasi DPRD
33 Sistem Akuntansi Daerah
34 Sistem Anggaran
35 Sistem Dokumen Elektronik
36 Sistem Evaluasi dan Informasi Hasil Pembangunan
37 Sistem Informasi dan Manajemen Data Pembangunan
38
39 Sistem Pemilu Daerah
40 Sistem Pendidikan dan Latihan
41 Sistem Pendukung Keputusan
42 Sistem Pengadaan Barang dan Jasa
43 Sistem Penilaian Kinerja PNS
44 Surat Elektronik
45 Tataruang dan Lingkungan Hidup Tataruang dan Lingkungan Hidup
46 Terminal dan Pelabuhan
47 Transportasi
30 5 18
Kategori:Gov 2.0 Tag:, ,